Yup, saya di Yogyakarta.

“Malam ini saya terbangun dari tidur, bukan karena saya bermimpi buruk ataupun bermimpi basah, tetapi saya terbangun karena tersadar bahwa ini malam kedua saya di Kota yang teristimewa di Indonesia, yakni Yogyakarta”

***

Minggu kemarin kira-kira pukul 3 sore saya tiba di Bandar Udara Adi Sucipto, dengan flight number yang cantik saya kira yakni XT8448. Nomer penerbangan yang cantik, dan pramugari yang cantik..loh, o_O hehe.

Memasuki pintu kedatangan saya sudah disambut dengan alunan gambelan dan pelantun tembang yang sangat khas Jawa, mengingatkan saya sejenak dengan Bali. Tak berlama di Bandara saya meluncur ke penginapan.

IMG_20160501_103552_1462216604342

Selama perjalanan saya duduk disamping bapak pengendara Taxi Rajawali, yang awalnya kalem, dan perlahan kemudian ramah dan akhirnya kami bercakap-cakap. Pendek, namun dalam, begitulah kira-kira topiknya. Hmm, pendek tapi dalam, bagaimana yah kira-kira..haha

Jadi topiknya itu antara kota Yogya yang dulu dan sekarang, dan Kuta dulu dan sekarang. Kami temukan padanan tempat yang sesuai untuk jadi bahan obrolan saat itu, berhubung beliau menginjakkan kaki di Bali tiga kali. Jadi saya kudu ngimbangi pembicaraannya walau belum kelar sehari di Yogya. Haha.

Yak, kami sama-sama sepakat bahwa kota kami sudah jauh berbeda sejak 10 – 15 tahun yang lalu. Tidak hanya secara fisik kota sudah semakin ramai, banyak bangunan dan tentunya kendaraan yang semakin banyak serta macetnya.

Saya lirik speedometer tidak lebih dari 40-50kpj, dan dengan kondisi jalan yang cukup lengang kata beliau. Konon kalo weekend atau liburan panjang, akan lebih macet lagi.

Nah kembali lagi ke topik, Perilaku masyarakat yang tadinya welcome dengan semua pendatang, perlahan luntur menjadi sedikit selektif dan resistensi dengan segala sesuatu yang namanya pendatang dan baru.

Walaupun tidak sepenuhnya hal tersebut diatas benar, namun bila melihat seperti yang terjadi di Bali saat ini terutama daerah-daerah pariwisata dan sekitaranya, tentu saja saya mengiyakannya.

Dan banyaknya ketidaksopanan dalam berkendara juga menjadi bagian dari pembicaraan kami. Bagaimana tidak, secara beliau setiap hari mengitari kota tentu saja paham betul bagaimana perilaku para pendatang berkendara di jalan raya.

Beliau ambil contoh begini, coba perhatikan plat nomor nomor kendaraan bermotor yang lalu lalang, sekarang sampe nomor plat papua mungkin akan di temui disini.

Terus, kalo berkendara sudah suka ngawur, tidak mau antrilah, main serobotlah yang kadang konon menurut beliau sedikit banyak membuat baliau kadang berfikir bahwa pendatang saja seperti itu apalagi lokal, dan saya lokal saja tidak begitu. Dan pada akhirnya penduduk lokal perlahan mengikuti ritme perilaku para pendatang.

Menyadari kondisi tersebut diatas, tentu saja ada musababnya dong. Tidak akan mungkin ada akibat tanpa sebab. Kami sama-sama menyadari bahwa pendidikan budi pekerti sangat diperlukan, bagaimana menjalankan aturan tanpa peraturan yang tertulis. Bagaimana norma kembali menjadi kontrol sosial.

Belum tuntas pembicaraan kami, akhirnya saya tiba di penginapan sementara. Dan akhirnya beliau pamit melajutkan tugasnya.

Tuh kan betul, pendek tapi dalam..haha.

Bila saya coba renungkan pembicaraan tadi di atas, membuat saya sedikit kaget. Ternyata saya adalah pendatang, bukan penduduk lokal lagi.

Mindset kelokalan saya pun harus diubah, dan saya harus mempertanggung jawabkan perilaku pendatang yang baik di kota yang Istimewa ini.

Aih, jam 2 pagi, berati jam 3 pagi di Bali. Jadi ingat kopi di Klinik kalo lagi ke k15, kalo dirumah jam segini AC mulai dimatiin. hmm kangen.

Saatnya pencet Save and Post, melanjutkan kembali beristirahat.

Sampai jumpa kembali besok di kota Teristimewa se-Indonesia, Yogyakarta.

Posted on 3 May 2016, in Umum. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment